Jumat, 08 Mei 2009

SEKOLAH GRATIS

Sekolah Gratis

Utomo Dananjaya

SEKOLAH gratis bukan pendidikan gratis. Sekolah gratis membebaskan siswa dari pembayaran SPP dan memperoleh pinjaman buku pelajaran dari perpustakaan sekolah. Pemerintah yang membayarkan SPP pada sekolah negeri dan swasta, dan menyediakan buku di perpustakaan.

PENDIDIKAN gratis, bagi SD dan SMP, pasti artinya bahwa siswa SD dan SMP tidak membayar. Kewajiban membayar dilakukan oleh pemerintah. Jadi, yang dimaksud sekolah gratis adalah siswa bisa sekolah tanpa kewajiban orangtua membayar apa pun (dulu namanya uang sekolah) dan siswa mendapat pinjaman buku dari perpustakaan sekolah.

Secara politis, Presiden akan selamat dari hujatan bahwa Presiden ingkar janji; tak usah bilang "don’t care"-lah. Tak usah begitu, sebab janji ini bisa dipenuhi dengan sederhana. Baca data sensus, sediakan kalkulator, dan sediakan sebesar-besarnya kepedulian pada orang miskin.

Berapa dibutuhkan biaya?

Pertama, menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2003, murid SD dan madrasah ibtidaiyah (MI)-negeri dan swasta-berjumlah 25.918.898 orang dan murid SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs)-negeri dan swasta-berjumlah 7.864.002 orang. Jadi, jumlahnya adalah 33.782.900 orang. Dari jumlah itu akhirnya yang putus sekolah dan berhenti tamat SD ada 56,2 persen dan yang hanya tamat SMP 16,65 persen. Jadi, putus sekolah dalam wajib belajar 62,67 persen.

Mengapa (mereka) putus sekolah? Karena miskin! Pemerintah memberikan beasiswa, memilih 9,6 juta dari 33,78 juta orang bukan pekerjaan gampang, apalagi yang miskin jumlahnya 21,16 juta. Memberikan beasiswa hanya kepada sebagian kecil orang miskin sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP). Caranya, mereka dibebaskan membayar SPP dan diberi gratis buku teks untuk semua.

Berapa diperlukan uangnya? Rencana subsidi untuk murid SD Rp 20.000, satu tahun Rp 240.000, sementara untuk SMP subsidi Rp 720.000 setahun. Sementara harga buku yang harus dibeli murid SD adalah 6 buku @ Rp 25.000. Untuk murid SMP 10 buku @ Rp 35.000. Kebutuhan untuk SD Rp 300.000 dan SMP Rp 700.000 per tahun. Oleh karena buku akan berlaku untuk lima tahun, maka biaya buku dihitung satu kali saja untuk lima tahun. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan lagi uang untuk buku dalam lima tahun.

Jumlah SPP murid SD, 25.918.898 x Rp 120.000 jadi Rp 6,22 triliun. SPP murid SMP, 7.864.002 x Rp 720.000 jadi Rp 5,66 triliun. Untuk SPP satu tahun diperlukan uang Rp 11,88 triliun. Adapun untuk buku murid SD Rp 7,76 triliun dan murid SMP Rp 5,50 triliun, jumlahnya Rp 13,6 triliun. Tetapi, buku berlaku untuk lima tahun, jadi dalam satu tahun hanya diperlukan Rp 2,92 triliun per tahun. Dengan demikian, dana satu tahun akademik adalah Rp 16,28 triliun.

Lebih adil

Mengapa lebih baik sekolah gratis daripada beasiswa untuk siswa miskin? Subsidi hanya diperuntukkan bagi 9,6 juta siswa yang harus dipilih dari 39 juta siswa SD, SMP, dan SMA serta SMK. Bayangkan kesulitannya. Lembaga pendidikan formal-juga menurut Pusat Data dan Informasi Pendidikan Balitbang-SD, SMP, SMA, dan SMK berjumlah 179.949 buah, negeri dan swasta, tersebar di 31 provinsi, 432 kabupaten, dan lebih dari 70.000 desa.

Data tahun 2003 tersebut pada bulan Juni 2005 berubah drastis karena kenaikan kelas dan habis program. Pendekatan baru dengan biaya mahal, waktu lama, hasilnya sia-sia dan tidak kena sasaran. Untuk memperoleh nama dan alamat untuk dibuatkan buku tabungan oleh BRI sungguh bukan pekerjaan yang bisa dianggap gampang. Beasiswa tahun lalu, yang dinilai sukses oleh Bank Dunia, pun orang miskin tak tahu-menahu.

Dengan digratiskan, maka kerja keras, uang, dan waktu dihapuskan dengan satu pernyataan Presiden. "Seluruh siswa SD dan SMP dinyatakan gratis. SPP dan buku akan dipenuhi oleh pemerintah. Sebanyak 179.949 lembaga sekolah-negeri dan swasta-segera mendaftarkan diri, membuka rekening di BRI setempat, sambil melampirkan jumlah murid masing-masing sekolah. Sekolah yang memungut bayaran dari siswa SD dan SMP akan ditindak tegas dan dihukum berat. Kepala sekolahnya didenda Rp 500 juta, diberhentikan sebagai tenaga pendidikan. Kepala polsek dan camat diperintahkan melakukan pengawasan dan menerima pengaduan, selanjutnya dilakukan tindakan tegas."

Yakinlah, pengumuman Bapak Presiden seperti ini akan menghentikan demo, mogok, dan kritik-kritik kritis.

Data sensus tahun 2003 menampilkan gambaran bahwa penduduk berusia 10 tahun ke atas terdiri atas 8,5 persen tak masuk SD, 23,0 persen drop out SD, dan 33,0 persen hanya tamat SD, atau penduduk berpendidikan SD ke bawah 64,5 persen. Yang bisa menamatkan SMP dan dilanjutkan ke SMA hanya 16,8 persen. Dari 42 juta usia belajar, wajib belajar hanya mencapai 32,9 persen, atau gagal 64,5 persen.

Maknanya, dalam 60 tahun merdeka, mobilitas sosial berjalan merayap. Anak petani di Karawang, anak perajin keramik di Plered, anak tukang kerajinan anyam di Raja Paloh, dan anak nelayan di Muara Angke tidak pernah bisa berubah nasibnya, seperti bapak atau kakaknya. Anak-anak kita 64,5 persen hanya berpendidikan SD ke bawah. Dengan sekolah gratis, SPP dan buku dibayar oleh pemerintah, kita punya alasan untuk mengajak anak-anak masuk sekolah dan menegur atau mendenda orangtua yang tidak mau menyekolahkan anaknya yang usia sekolah. Wajib belajar berupa memberikan pendidikan semua warga negara, amanat UUD 45 kepada pemerintah dimulai oleh Presiden SBY.

Imbauan belajar bukan wajib belajar

Wajib belajar ala Indonesia tidak identik dengan wajib belajar (compulsory education) seperti yang dipersepsi oleh negara-negara maju, yang secara ekonomis telah lebih makmur. Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar; (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orangtua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.

Adapun ciri-ciri wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun di Indonesia ialah: (1) tidak bersifat paksaan, melainkan persuasif; (2) tidak ada sanksi hukum, dan yang lebih menonjol adalah aspek moral, yakni orangtua dan peserta didik merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan dasar karena berbagai kemudahan telah disediakan; (3) tidak diatur dengan undang-undang tersendiri; dan (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan.

Menyadari bahwa wajib belajar hanya imbauan, adalah fakta bahwa pemerintah atau pejabat memang tidak serius dengan pendidikan. Mereka kurang peduli pada rakyat miskin. Menggratiskan SPP dan buku pinjaman dapat menjadi pertanda kesungguhan pemerintah dan langkah simpatik menuju pemenuhan UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4) tentang alokasi APBN dan APBD untuk pendidikan di luar gaji guru. Andai kelak tidak memenuhi 20 persen dari APBN, karena meringankan orangtua, sekolah gratis setara dengan APBN harapan.

Birokrat menyatakan, Mendiknas telah menyerukan agar sekolah tidak memungut SPP. Namun, komite sekolah yang memungut iuran. Tentu saja sekolah swasta akan memungut SPP karena pemerintah tidak mengganti. Jadi bukan imbauan, tetapi undang-undang yang konsekuensi anggarannya di tanggung oleh APBN dan APBD, yang melanggar diberi sanksi.

Birokrasi pendidikan akan bilang tidak mungkin karena tidak pernah menghitung atau memikirkan sekolah gratis. Begitu terjadi sejak Guberment zaman penjajahan Belanda. Pemerintahannya bisa memberi subsidi. Harus ada perubahan pendekatan sikap membiayai pendidikan.

Rencana APBN untuk sektor pendidikan saja sebesar Rp 19,6 triliun-Rp 24 triliun. Untuk membiayai 445 program. Anggaran sebesar itu dibagi menjadi delapan fungsi. Masing-masing fungsi secara tradisional memperoleh alokasi tetap sejumlah persentase tertentu. Jadi mulai alokasi sektor, dibagi pada alokasi fungsi, dan masing-masing fungsi membagi pada alokasi program. Wajib belajar sembilan tahun masuk dalam fungsi pendidikan dasar sembilan tahun (SD dan SMP), dengan jumlah programnya 33 program.

Dengan membaca program-program tersebut, dengan mudah kita melihat bahwa kenaikan anggaran tidak mengarah pada pembebasan biaya belajar. Dalam rencana anggaran lima tahun, anggaran pada Depdiknas memang dirancang naik, tetapi tidak mengarah pada sekolah gratis. Biaya itu dirancang meningkatkan biaya birokrasi pendidikan. Jadi, Mendiknas tidak pernah punya program strategis untuk pemetaan pendidikan.

Maka, dalam penyusunan APBN, diperlukan perubahan pendekatan. Dimulai dari menentukan kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan, yaitu pemerataan pendidikan atau memberikan pendidikan kepada seluruh warga negara, yaitu menyelamatkan 24,9 juta usia sekolah masuk SD sampai tamat SMP. Untuk mudahnya: sekolah gratis!

Hitungan anggaran pendidikan yang 20 persen selalu dibuat dengan lebih dahulu menginventarisasi biaya macam-macam sehingga didapat angka seluruhnya mencapai Rp 67 triliun. Angka ini diperoleh dengan menghitung biaya pendidikan meliputi biaya gaji, bangunan, alat bantu belajar, alat tulis, pengelolaan, pengawasan dan penilaian, dan lain-lain. Cara menghitung semacam ini tidak memecahkan masalah. Apalagi telah terbelenggu dengan model alokasi proyek menurut fungsi.

Meringankan pemerintah

Pemerintah pusat masih bisa diringankan oleh beberapa hal. Pertama, APBD, di mana telah ada sejumlah pemda yang telah punya program mengganti SPP dan buku dengan APBD, sekurang-kurangnya dilakukan oleh 45 kabupaten penerima dana alokasi khusus dan dana perimbangan tiap daerah.

Kedua, sekolah swasta yang menentukan tarif tinggi tidak memperoleh penggantian SPP dan buku. Sekolah swasta ini jumlahnya hanya lebih kurang 25 lembaga. Bahkan, sekolah mahal ini dapat dikenai pajak penghasilan. Sekolah swasta harus mendapat izin untuk memungut biaya dari pemerintah, diatur tata caranya dalam UU wajib belajar. Sebelum UU tersebut ada, ya, salah satu pasal dari inpres wajib belajar. Sekolah swasta yang menarik bayaran tidak mendapat izin pemungutan dikenai sanksi kriminal: pemerasan dan penggelapan atau korupsi. Mereka tentu akan protes, tetapi hanya menyangkut sejumlah kecil anak-anak orang kaya yang ingin memperoleh hak istimewa dengan masuk sekolah unggulan. Bagi mereka yang tidak mau bayar, masuklah ke sekolah gratis SPP dan buku.

Ketiga, menurut Ikatan Penerbit Indonesia, harga buku Rp 25.000 atau Rp 35.000, biaya produknya hanya 20 persen saja. Jadi, harga buku bisa ditekan hanya 20 persen, dari Rp 2,92 triliun per tahun hanya Rp 584 miliar saja, atau dana Rp 2,92 triliun untuk kebutuhan satu tahun (SD dan SMP) cukup untuk memenuhi kebutuhan lima tahun.

Dengan mengubah pendekatan penyusunan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, dengan menghitung berdasarkan data pendidikan Balitbang atau Susenas, dan dengan sebesar-besarnya kepedulian pada anak miskin, maka pemerataan pendidikan, penanggulangan drop out, dan kesediaan membuat sekolah gratis selamatkan Presiden SBY dan Mendiknas Bambang Sudibyo.

Utomo Dananjaya Direktur The Institute for Education Reform Universitas Paramadina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar